Rabu, 23 Desember 2015

Tidore Yang Sepi Tidore Yang Membuat Jatuh Hati

Begitulah pembicaraan singkat saya serta Acho satu hari saat sebelum kami pergi ke Tidore. Perjalanan diawali dengan cara simpel. Spontan. Tanpa ada gagasan yang njelimet. Perjalanan itu seperti mewakili diri saya. Karenanya tanpa ada butuh banyak argumen, saya demikian menyukai perjalanan yang sudah jadi hidup itu. Tanpa ada terikat saat maupun daftar-daftar spesifik. Saya yakin, di tiap-tiap langkah, perjalanan menaruh narasi serta menyingkapkan misterinya.

Mendekati matahari bergantung lurus diatas kepala, kami sudah tiba di dermaga penyeberangan. Perahu ke Tidore baru bakal pergi bila jumlah motor yang bakal mereka angkut sudah meraih 12 unit, motor kami yaitu yang pertama mengantri. Tak hingga 1/2 jam, dua belas motor telah terkumpul di bibir dermaga. Nyatanya mobilitas orang-orang Ternate-Tidore atau demikian sebaliknya cukup tinggi. Lihat Juga : Tempat Wisata di Garut


“Tidore ini tak seramai Ternate” kalimat Acho satu hari pada awal mulanya dapat dibuktikan saat kami melewati jalanan di Tidore. Jalanan merasa lega lantaran jumlah kendaraan yang melintas sedikit. Hal semacam ini bikin berkendara di Tidore merasa sangatlah nyaman. Di lebih lantaran keadaan jalan yang mulus serta udaranya yang fresh lantaran banyak pohon di kiri-kanannya. Terasa seperti jalan di jalanan komplek perumahan elegan. Saya memikirkan enaknya bersepeda disini.

Mendadak Acho hentikan motor di dekat tugu berupa buah cengkeh. Tak merasa kami sudah tiba di tujuan pertama, benteng Tahula. Tangga menanjak berwarna hijau dengan kemiringan seputar tujuh puluh lima derajat mesti dilalui untuk hingga di benteng. Perlu perjuangan yang cukup berat untuk melalui tangga itu. Mungkin saja oleh karena itu benteng itu di bangun di ketinggian, supaya tak gampang dikalahkan.

Benteng Tahula usai di bangun pada 1615 oleh Spanyol serta dinamakan Santiago de los Caballeros de Tidore. Terdapat di jalan Sultan Syaifuddin, desa Soa Sio, kecamatan Tidore. Benteng itu di bangun membuat perlindungan kapal-kapal mereka waktu berlabuh di laut Tidore. Sesudah Spanyol meninggalkan Tidore, benteng itu dihancurkan oleh Belanda yang berkuasa ketika ini. Bangunan yang berdiri saat ini yaitu hasil renovasi dari bekas benteng yang masih tetap ada. Masih tetap tampak menarik, tetapi kabel listrik yang dipasang di bangunan benteng merasa mengganggu keindahannya.

Rasa haus datang sesudah nikmati benteng itu ditengah cuaca panas serta hembusan angin yang menyejukkan. Sesudah memperoleh minuman di satu mini market, Sadam serta Oji—dua orang rekan Acho—mengajak kami nikmati kelapa muda di kebunnya. Tawaran yang sungguh-sungguh tak dapat tidak diterima pada siang yang panas. Rio Satrio

Delapan buah kelapa muda berkulit hijau sudah menyongsong waktu kami hingga. Saya memberikan pujian pada pemanjat yang pas pilih buah kelapa untuk di nikmati. Airnya yang fresh serta daging buah yang lembut bisa jadi pengganti makan siang.

Percakapan sepanjang nikmati kelapa muda dengan Sadam serta Oji juga sangatlah buka wawasan. Sepanjang perjalanan dari sejak dermaga hingga ke kebun itu, saya banyak lihat tampa dudu (tempat duduk) atau pangkalan di kiri-kanan jalan yang dihias dengan gambar serta tulisan menarik.

Dari mulai gambar kartun Jepang, bendera negara-negara peserta piala dunia, logo group band, logo brand baju, graffity, hingga tulisan kampanye pilkada menghiasi pangkalan-pangkalan ini. Seolah ada pertandingan, tiap-tiap pangkalan seperti berkompetisi jadi yang terkeren.

“Itu tampa dudu telah harga mati disini, bang. Bila ada janji bersua, disana, bila ngumpul, disana. ” Sadam menuturkan tentang pangkalan ini “Kalau ada yang bakulai (berkelahi atau tawuran) ini tampa dudu yang dibakar duluan. Bila telah dibakar, ini harga diri telah diinjak-injak. ” lanjut Sadam sembari tertawa.

Sadam yang sempat juga jalan sendiri ke banyak tempat di Indonesia sepanjang berbulan-bulan temani kami ke Benteng Torre. Benteng Torre juga sudah alami renovasi dari kehancurannya yang tersisa seputar 30% bangunan aslinya. Benteng itu menghadap ke pulau Halmahera serta memunggungi gunung Kie Matubu. Gunung Moti serta Makeang di segi kanan tampak seperti gunung kembar di hamparan biru lautan.

Perihal gunung Kie Matubu, Sadam menceritakan perihal pendakian “obat” yang dikerjakan oleh klannya. Mendaki yang diawali dari bibir pantai, tanpa ada nada, tanpa ada alas kaki, tanpa ada bekal serta dengan baju spesial. Sesampai diatas baru diperbolehkan minum dari mata air spesifik. Pendakian itu yaitu pendakian sakral yang dikerjakan sekali satu tahun, dengan ketentuan-aturan spesifik, serta melibat kelompok jin juga sebagai “pengawas”nya.

Gunung Kie Matubu tak dapat didaki oleh asal-asalan orang. Izin dari Sohi (kuncen) gunung sangatlah diperlukan. Bila mendaki “ilegal”´bersiaplah hadapi situasi yg tidak di idamkan, seperti tertutup kabut sepanjang perjalanan atau angin kencang dan hujan. Konon, begitulah yang sudah dihadapi Oji serta Sadam sekian kali. 

Baca Juga : Jogja Bay

Awan-awan putih yang teronggok dilangit mulai terlihat kemerahan. Kami pilih jalan pulang memutari melingkari pulau. Terkecuali tampa dudu, di selama jalan di Tidore yang semua orang-orangnya beragama Islam, masjid sangatlah banyak berdiri di selama jalan. Ketika saya sholat Ashar di satu diantara masjid, jamaah dewasanya cuma saya serta Sadam serta dua orang anak-anak. Mudah-mudahan di masjid-masjid yang lain jamaahnya semakin banyak, harapan saya dalam hati.

Ada ketenangan, kenyamanan, kedamaian, serta kehangatan di kota kecil itu. Situasi yang sangatlah berkebalikan dengan kehidupan pada awal mulanya waktu di Jakarta, terutama situasi di jalanannya. Di kota kecil Tidore yang sepi itu, saya jatuh hati untuk ketiga kalinya disuatu tempat, sesudah desa Sangiang serta kota Ambon.